Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipis pun turun pelan pelan di Lembah Kasih
Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu dimana jawaban itu
Bagaikan letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati
`welcome to nemo's blog........
Puisi Cahaya Bulan — Ost Soe Hok Gie
Diposting oleh
.mo...mo....nemooooo.......
di
06.01
Jumat, 14 Oktober 2011
Nama : Tuti Rahayu
Nim : 09407141008
Prodi : Ilmu Sejarah
MK : Manusia dan Kebudayaan
DP : Dina DK. M.Hum
Judul : Suku Minang
1.Geografis1
Propinsi Sumatera Barat yang oleh kebanyakan penduduk sering disebut dengan Ranah Minang memanjang dari barat laut ke tenggara di pesisir Barat Pulau Sumatera. Daerah ini terletak antara 00̊ 55’ LU, sampai dengan 02̊ 35’ LS dan 99̊ 10’ BT sampai dengan 101̊ 10’ BT sampai dengan 101̊ 55’ BT (tidak termasuk kepulauan Mentawai).
Istilah Sumatera Barat diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu de westkust van Sumatera atau dikenal juga dengan istilah Sumatera’s westkust. Pengertian ini pada abad ke 19 diperluas lagi, dari de westkust van Sumatera yang mulanya terdiri dari Luhak nan Tigo, “Luhak Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar”. Biasa daerah ini disebut daerah darek. Perluasannya disebut rantau, yang disebut daerah rantau itu mencakup; daerah kabupaten Pasaman, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Solok, dan Sawah Lunto Sijunjung. Daerah ini akhirnya oleh belanda dijadikan de residentie Sumatera’s Westkust yang disebut juga Karesidenan Sumatera Barat. Pada zaman pendudukan Jepang istilah ini oleh Jepang ke dalam bahasa Jepang Sumatera Nishi Kai-Ganshu yang kemudian setelah indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia menamakannya Karesidenan Sumatera Barat. Sumatera Barat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah daerah yang meliputi 14 daerah tingkat dua, terdiri dari 8 Kabupaten dan 6 Kotamadya.
Menurut Tambo Adat Alam Minagkabau, daerah Minangkabau membentang dari Sikilang Air Bangis sebelah Utara, Taratak Air Hitam, Sialang Balantak Basi di sebelah Timur, Sipisau-pisau Hanyuik, Durian Ditaktuak Rajo, Tanjung Simaliduke batasan Jambi.Gunung Patah Sambilan ke Selatan, Laut nan Sadidiah (Lautan Hindia) disebelah Barat. Menurut Tambo, daerah ini dibagi atas Luhak nan Tigo (Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota) sebagai daerah asal dan Rantau untuk daerah lainnya (Solok, Sawah Lunto Sijunjung, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Pasman). Kadang-kadang Solok disebut juga daerah asal.
Morfologi atau bentuk keadaan tanah permukaan bumi Sumatera Barat sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari barat laut ke tenggara, seolah-olah merupakan tulang punggung pulau Sumatera. Pegununggan ini merupakan sambungan dari pegunungan Araka Yona di Birma yang masuk ke daratan Sumatera melalui kepulauan Andaman dan Nikobar. Barisan ini termasuk sistem tanah Sunda yang labil karena masih dalam proses pembentukan serta merupakan daerah vulkans yang subur. Profil tanah yang bergunung-gunung menyebabkan daerah ini baik untuk objek turis. Apalagi di sini terdapat danau Singkarak dan danau Maninjau, air terjun anai dengan hutangan cadangan (cagar alam) Anai dan Rimbo Panti. Pegunungan yang menjorok ke laut seperti di Pandang dan Pesisir Selatan yang menyebabkan bentuk pantai menjadi berteluk-teluk yang indah seperti pantai Bungus dan Teluk Bayur. Seluruh daerah Sumatera Barat didiami oleh suku bangsa Minangkabau kecuali kepulauaan Mentawai yang didiami oleh orang Mentawai.
Di Pasaman dan Sawah Lunto Sijunjung terdapat transmigrasi dari Jawa. juga terdapat transmigrasi lokal dari Tapanuli di Pasaman Utara. Pada umumnya tidak terdapat mobilitas penduduk antar negeri.penduduk biasanya untuk suatu masa tertentu terjadi ke kota atau keluar daerah. Perpindahan kota biasanya untuk belajar, berdagang, atau pekerjaan-pekerjaan lain, tapi biasanya mereka akan kembali ke kampung sesudah maksudnya selesai. Perpindahan keluar daerah banyak terjadi, terutama ke Jawa baik untuk bersekolah maupun merantau.
Latar belakang sosial budaya
1.Sejarah
Menurut Tanbo Minangkabau, orang Minangkabau berasal dari turunan Iskandar Zulkarnain yang pernah berkuasa sampai ke India (abad ketiga sebelum Masehi)1. mereka datang dengan perahu dan kandas di gunung Merapi di suatu tempat yang disebut Pariangan. Dari sana mereka berkembang, menyebar ke daerah yang sekarang dikenal dengan Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota. Daerah ini disebut pada waktu dahulu Luhak, yang sekarang menjadi kabupaten-kabupaten. Dari sana penduduk menyebar ke daerah lainnya, seperti Solok, Pasaman, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Sawah Lunto Sijunjung.
Menurut penelitian, orang Minagkabau termasuk suku bangsa Melayu (Melayu Muda) yang datang ke sini dari Indo China yakni sekitar abad kelima dan pertama sebelum Masehi.
Masa pra dan proto sejaarah sumatera barat berlangsung lama sekali. Bukti-bukti prasejarah terlihat dari ditemukannya sisa kebudayaan megalith di beberapa daerah seperti Guguk, Suliki dan Puar Datar (Lima Puluh Kota) dan pecahan tembikar di Gua Kamang (Kabupaten Agam) yang berdekatan denagn Puar Datar. Disamping itu terdapat pula piagam lempeng emas di Candi Tanjung Medan dan sebuah Arca di Padang Nunang, Rao, keduanya di kabupaten Pasaman Utara.
Pada akhir abad ketiga belas. Daerah ini diberitakan lagi dengan adanya ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275 M. Pada abad keempat belas muncul pula prasasti Padari Aditiawarman disekitar Batusangkar. Dengan ini bolehlah dikatakan Sumatera Barat memulai zaman sejarahnya.
Pada awal abad kesembilan belas terjadi peristiwa besar akibat pembaharuan agama Islam yang dibawa oleh tiga orang haji dari Mekkah yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Timbullah pertentangan antara kaum adat dengan kaum pembaharuan dalam agama Islam. Belanda menggunakan kesempatan ini golongan lemah (kaum adat) dalam usaha kaum itu menentang pembaharuan yang disebut orang Paderi. Timbullah perang pada tahun 1821-1837, yang disebut perang Paderi, dipimpin oleh Imam Bonjol dan kawan-kawannya. Dengan dipatahkannya perlawanan kaum paderi oleh Belanda berhenti untuk sementara. Perlawanan-perlawan Regent Batipuh (1843) dan Perang Pauh.
Memasuki abad keduapuluh, seperti daerah lain di Indonesia, juga Sumatera Barat aktif dalam pergerakan nasional. Selain dari mempunyai cabang-cabang orgasasi pergerakan dari Jawa, Sumatera Barat juga mempunyai organisasi politik lokal yang amat ditakuti oleh Belanda yaitu Persatuan Muslim Indonesia yang disingkat dengan PERMI. Pergerakan nasional mencapai puncaknya dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang mana Sumatera Barat termasuk didalamnya.
3.Bentuk Desa
Desa yang disebut nagari dalam bahasa Minangkabau kadang-kadang terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah kediaman utama dan dianggap pusat bagi sebuah desa. Halnya berbeda dengan taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang. Kalau ada orang yang diam di taratak ini, maka orang itu dianggap sebagai orang yang bertugas untuk menjaga dan megerjakan tanah yang ada di situ dan biasanya tanah itu bukan kepunyaanya1.
Daerah nagari dalam sebuah desa biasanya ditentukan oleh adanya sebuah masjid, balai adat, dan tempat untuk pasar sekali atau dua kali seminggu. Masjid, balai adat tempat sidang-sidang adat diadakan, pasar dan kantor nagari sebagai gejala yang dibawa oleh pemerintahan Belanda biasanya terletak pada suatu tempat, yang merupakan pusat kehidupan sebuah desa, dan letaknya kira-kira di tengah-tengah sebuah desa, dan pada pertengahan sebuah jalan memanjang dengan rumah-rumah kediaman disebelah kanan dan kirinya.
Daerah nagari dalam suatu desa pertanian, meliputi juga daerah persawahan. Ladang-ladang biasanya tidak ada dalam daerah ini, tetapi dalam daerah taratak, walaupun di situ sering terdapat juga sawah-sawah. Keadaan semacam ini kiranya cocok dengan pengertian lain dari taratak sebagai daerah terpencil dari pusat nagari, yang berpencaran di sudut-sudut yang agak jauh dari nagari.
Sebagian terbesar dari penduduk sebuah desa bertempat tinggal dalam daerah nagari, dan hanya pada waktu-waktu tertentu mereka pergi ke taratak. Karena itu pola perkampungan mereka adalah pola kampung biasa. Taratak atau hamflet merupakan keadaan tambahan belaka.
Sesuai dengan pembagian antara daerah nagari atau taratak, maka kalau kita berbicara tentang bentuk-bentuk rumah minangkabau (yang tradisional), perhatian kita terpaksa dibatasi kepada rumah-rumah yang ada dalam daerah nagari. Rumah-rumah yang ada di daerah taratak tidak dapat dianggap sebagai rumah-rumah yang khas Minagkabau. Ada rumah-rumah yang di anggap sebagai rumah-rumah sementara saja, atau rumah-rumah itu dibangun oleh orang-orang yang tak begitu berkemampuan untuk membangun rumah-rumah serupa dengan apa yang ada dalam sebuah nagari.
4.Mata Pencaharian Hidup
Sebagian besar dari orang Minangkabau hidup dari tanah. Di daerah yang subur dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi banyak orang menanam sayur mayur untuk perdagangan, seperti kubis, tomat dan sebagainya. Pada daerah-daerah yang tidak begitu subur kebanyakan penduduknya hidup dari tanaman-tanaman pisang, ubi kayu, dan sebagainya.
Disamping hidup dari pertanian, penduduk yang diam di pinggir laut atau di pinggir danau-danau juga dapat hidup dari hasil panangkapan ikan, tetapi kebanyakan bagi mereka penangkapan ikan bagi mereka adalah mata pencaharian sampingan saja.
Ada berbagai hal yang menyebabkan banyak orang Minangkabau kemudian meninggalkan sektor pertanian1. Ada yang disebabkan karena tak ada tanah pertanian yang memberikan cukup hasil, ada yang disebabkan karena kesadaran bahwa dengan pertanian mereka tak mungkin bisa menjadi kaya. Orang-orang seperti ini biasanya lari ke sektor perdagangan, ada juga yang menjadi pegawai. Mereka yang menjadi pedagang biasanya memilih antara tiga lapangan ialah tekstile, kelontongan, atau rumah makan.
Selain itu ada juga yang hidup dari kerajinan tangan. Di antaranya yang telah melampaui batas kedaerahan ialah kerajinan perak bakar dari Koto Gadang, sebuah desa dekat Bukit-tinggi dan pembuatan kain songket dari silungkang, sebuah desa dekat Sawah Lunto. Industri kecil tidak begitu berkembang dan yang kelihatan industri kecil tekstil yang berpusat pada dua daerah yaitu Silungkang dan Kubang, sebuah desa dekat Payakumbuh.
5.Sistem Kekerabatan
Masyarakat Minagkabau terbagi atas suku-suku. Suku utama adala Bodi, Caniago, Koto, Paliang. Suku-suku ini terpecah-pecah lagi atas suku-suku lain, yang jumlahnya lebih kurang 96 suku. Suku dalam kekrabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus dipilih dari luar suku1.
Prinsip keturunan diatur menurut garis ibu. Setiap individu akan melihat dirinya sebagai keturunan dari ibunya dan nenek perempuannya ke atas. Garis keturunan ini mempunyai arti untuk penerusan harta warisan yang setiap orang aan menerima warisan dari ibunya. Walaupun pada hakekatnya anak laki-laki mendapat bahagianya, tetapi dia tidak dapat mewariskannya pada anaknya, sehingga kalau ia meninggal harta itu akan kembali kepada turunan menurut garis ibunya yakni kemenakannya.
Prinsip keturunan yang matrilinial ini juga menentukan bahwa pewarisan sako yakni gelar. Seorang laki-laki akan menerima gelar dari garis ibunya dan khusus untuk gelar Datuk (penghulu) tidak dapat diberikan pada anaknya. Hanya di Pariaman gelar Sidi, Bagindo dan Sutan yang menunjukan gelar kebangsawanan dan bukan gelar adt yang diturunkan menurut garis ayah sedangkan gelar adat tetap menurut garis ibu1
Di dalam pergaulan sehari-hari terdapat aturan sopan santun pergaulan. Di dalam anggota keluarga hanya terdapat aturan nan ketek disayang, nan gadang dihormati, samo gadang dibao baiyo, artnya yang kecil disayang, yang besar dihormati dan sesama besar dibawa musyawarah. Hubungan dengan menantu atau orang sumando adalah hubungan saling menyegani atau bakasagana. Antara menantu dan keluarga asal, isteri tidak layak kalau mengobrol tidak berketentuan, berkelakar dan sebagainya..
6.Sistem Sosial / Kemasyarakatan
Menurut ilmu masyarakat pelapisan masyarakat atau stratifikasi sosial dapat berlaku secara horizontal atau mendatar dan vertikal atau menegak. Di Minagkabau stratifikasi sosial ini urang tajam.
Berpedoman kepada pepatah nan baiak iolah budi nan indah iolah baso (yang baik adalah budi dan yang indah adalah basa/sopan santun), maka setiap orang dapat mencapai martabat tersebut. Demikian pula pepatah barajo ka mufakat menunjukkan bahwa raja itu adalah mufakat dari semua orang, karena itu mereka mempunyai kedudukan yang sederajat.
Walaupun tidak begitu tajam kelasnya, secara menegak, masyarakat dapat digolongkan atas golongan kemenakan dan golongan mamak, yakni semua mamak-mamak rumah yang bergelar datuk dan bertugas sebagai penghulu dalam negari. Sebagai penghulu mereka memegang kuasa mengaturanak kemenakannya dalam nagari. Di dalam nagari para penghulu bermusyawarah dengan penghulu dari suku lainnya yang akan menentukan peratutan dalam negari. Mereka menjadi anggota kerapatan adat negari. Salah seorang dari mereka dipilih menjadi kepala negari (sekarang sudah tidak berlaku lagi/tidak ada)1.
Kemenakan harus patuh kepada mamak-mamak mereka di dalam pengaturan negari. Mereka adalah yang diatur oleh mamak. Semua anggota keluarga yang tidak menjabat sebagi penghulu/mamak kepala waris dalam kaum dan mamak tungganai di rumah tangga adalah kemenakan. Tapi walaupun demikian dalam tiap-tiap ke keluarga aturan musyawarah pun tetap berlaku. Pepatah minangkabau menyebutkan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana barajo ka nan patuik, artinya kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada yang benar, yang benar beraja kepada yang pantas.
Perbedaan anatara kemenakan dengan mamak tidak kentara. Setiap orang laki-laki sebenarnya berhak emnjadi mamak jka syaratnya terpenuhi. Oleh karena itu mamak rumah tidak selalu yang ertua umurnya, tetapi yang tertua dalam segalanya, terutama sekali tertua dalam kepemimpiannnya. Jadi tidak serta merta orang kerena kelahirannya menjadi mamak rumah atau penghul.
Di daerah rantau pelapisan menegak ini agak nyata. Di Solok misalnya kita mengenal raja-raja sungai pagu (daerah Muara Labuh), di Pasaman kita kenal raja-raja di Rao dan Sontang. Di Padang Pariaman kita kenal juga raja-raja tersebut. Malahan di Pariaman kebangsawanan orang juga dikenal dengan gelar-gelar mereka yaitu Bagindo, Sidi, Marah dan Sutan, dimana golongan dengan gelar yang satu lebih rendah dari yang lain atau sebaliknya.
Disamping apa yang disebutkan di atas kita dengar pula adanya istilah Tungku Tigo Sajarangan dalam masyarakat, emnunjukkan pelapisan horizontal. Yang dimakudkan ialah golongan ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama. Mereka sederajat tetapi emmpunyai posisi yang berada dalam masyarakat. Golongan ninik mamak adalah orang yang megatur urusan adat istiadat, golongan cerdik pandai tempat bertanya dalam masalah umum sedangkan golongan ulama megatur hal-hal yang menyangkut agama.
Adanya pelapisan berdasarkan kekayaan tidak kentara karena sebenarnya yang dianggap kekayaan itu dahulu adala tanah. Karena tanah adalah milik suku atau keluarga luas, amka sebenarnya orang tidak mempunyai kekayaan pribadi. Perluasaan tanah ladang atau sawah sebenarnya dilakukan atas tanah ulayat atau tanah suku dan karena itu tetap milik suku.
Merantau1
Merantau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang Minagkabau sejak lama. Semula merantau didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena tempat asal di pedalaman Sumatera Barat (Luhak nan Tigo) tidak lagi memadau luasnya untuk menunjang kehidupan mereka. Mereka memerlukan tanah garapan baru untuk pertanian persawahan. Denagn semanagt inilah orang Minangkabau memperluas wilayah mereka dengan memasukkan pantai barat kedalam lingkunagn wilayah mereka (Pariaman-Padang-Bandar Sepuluh) pada abad-abad sebelumnya. Emningkatnya kebutuhan perdaganggan denagn dunia luar, terutama denagn Malaka dan Aceh dari abad ke-15 dan seterusnya, memaksa mereka mencari koloni baru sepanjang pantai timur dan barar. Juga karena hanbatan alam, yaitu sukarnya menerobos daerah pedalaman yang kaya akan rempah-rempah, hasil hutan dan emas yang sangat laku dipasar dunia pada masa itu, saudagar-saudagar asing harus menunggu di pelabuhan-pelabuhan perdagangan sampai barang-barang tiba. Dengan kedatangan Belanda, jalanjalan raya baru dan sarana komunikasi lainnya membawa orang Minangkabau lebih dekat denagn dunia luar dan dengan demikian mendorong orang Minangkabau untuk pergi merantau dalam jumlah yang meningkat dan makin tersebar. Denagn sarana yang lebih modern, bepergian dalam kelompok tidak lagi diperlukan dan sekarang mulailah tipe baru merantau. Merantau sekarang dilakukan secara sendiri-sendiri, denagn tujuan kota-kota. Daya tarik kota-kota semenjak peralihan abad yang lalu ke abad ini seolah-olah telah berjalan selaras denagan faktor-faktor pendorong (push factor) yang mendesak dari dalam.
7.Sistem Religi
Dari sisa-sisa kepercayaan yang tertinggal dapat diperkirakan bahwa pada masa dahulu sebelum masuknya agama islam orang Minangkabau mengenal kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Kepercayaan akan Dinamisme terlihat pada kepercayaan sebagian masyarakat terhadap tempat-tempat yang sakti. Apabila orang melanggar tempat yang sakti dia akan terkena malapetaka misalnya akan mati denagan tiba-tiba atau mendapatkan penyakit. Bergabung dengan Animisme yakni kepercayaan akan adanya roh-roh, maka seseorang percaya akan hantu, kuntilanak atau penyakit yang disebabkan seperti ditampar malapari, palasit atau sijundai dan si hantu.
Di antara benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan sakti seperti batang beringin, tempat-tempat yang sunyi, sumur-sumur alam yang disebut lubuk dan lain-lainnya. Oleh karena dianggap sakti maka orang berusaha menghindarinya agar tidak mendapat malapetaka.
Dengan datangnya agama islam maka kepercayaan masyarakat berubah menjadi monoteis yakni kepercayaan akan tuhan yang satu. Walaupun begitu percampuran antara agama monotheisme dengan kepercayaan hindu terlihat dalam upacara menujuh atau menyeratus hari sesudah kematian, datang ke kuburan untuk minta berkat dan lain-lain. Sekarang upacara-upacar keagamaan yang ada ialah yang ada hubungannya dengan agama islam sedangkan kepercayaan asli boleh dikatakaan tinggal bekasnya saja.
Sumber dan Referensi
Amir. B,dkk. 1985. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Sumatera Barat, Jakarta, Depdikbud,
A.M Datuk Maruhun Batuah, D.H. Bagindo Tanameh; Hukum Adat dan Adat Minangkabau. NV. Poesaka Aseli, Jakarta, 1954.
Koentjaraningrat. 1957.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Sapdodadi,
M. RasjiMinangkabaud Manggis Dt. Radjo panghoeloe. 1982. Sejarah Ringkas dan Adatnya.Jakarta : Mutiara
Mochtar Naim1984. Merantau : Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada Perss University,
M. Nasroen. 1971. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Djakarta: Bulan Bintang.
Nurlela Adnan, Ermiati, Rosnida M. Nur. 1994. Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Minangkabau, Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Nim : 09407141008
Prodi : Ilmu Sejarah
MK : Manusia dan Kebudayaan
DP : Dina DK. M.Hum
Judul : Suku Minang
1.Geografis1
Propinsi Sumatera Barat yang oleh kebanyakan penduduk sering disebut dengan Ranah Minang memanjang dari barat laut ke tenggara di pesisir Barat Pulau Sumatera. Daerah ini terletak antara 00̊ 55’ LU, sampai dengan 02̊ 35’ LS dan 99̊ 10’ BT sampai dengan 101̊ 10’ BT sampai dengan 101̊ 55’ BT (tidak termasuk kepulauan Mentawai).
Istilah Sumatera Barat diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu de westkust van Sumatera atau dikenal juga dengan istilah Sumatera’s westkust. Pengertian ini pada abad ke 19 diperluas lagi, dari de westkust van Sumatera yang mulanya terdiri dari Luhak nan Tigo, “Luhak Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar”. Biasa daerah ini disebut daerah darek. Perluasannya disebut rantau, yang disebut daerah rantau itu mencakup; daerah kabupaten Pasaman, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, Solok, dan Sawah Lunto Sijunjung. Daerah ini akhirnya oleh belanda dijadikan de residentie Sumatera’s Westkust yang disebut juga Karesidenan Sumatera Barat. Pada zaman pendudukan Jepang istilah ini oleh Jepang ke dalam bahasa Jepang Sumatera Nishi Kai-Ganshu yang kemudian setelah indonesia merdeka, pemerintah Republik Indonesia menamakannya Karesidenan Sumatera Barat. Sumatera Barat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah daerah yang meliputi 14 daerah tingkat dua, terdiri dari 8 Kabupaten dan 6 Kotamadya.
Menurut Tambo Adat Alam Minagkabau, daerah Minangkabau membentang dari Sikilang Air Bangis sebelah Utara, Taratak Air Hitam, Sialang Balantak Basi di sebelah Timur, Sipisau-pisau Hanyuik, Durian Ditaktuak Rajo, Tanjung Simaliduke batasan Jambi.Gunung Patah Sambilan ke Selatan, Laut nan Sadidiah (Lautan Hindia) disebelah Barat. Menurut Tambo, daerah ini dibagi atas Luhak nan Tigo (Agam, Tanah Datar dan Lima Puluh Kota) sebagai daerah asal dan Rantau untuk daerah lainnya (Solok, Sawah Lunto Sijunjung, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Pasman). Kadang-kadang Solok disebut juga daerah asal.
Morfologi atau bentuk keadaan tanah permukaan bumi Sumatera Barat sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari barat laut ke tenggara, seolah-olah merupakan tulang punggung pulau Sumatera. Pegununggan ini merupakan sambungan dari pegunungan Araka Yona di Birma yang masuk ke daratan Sumatera melalui kepulauan Andaman dan Nikobar. Barisan ini termasuk sistem tanah Sunda yang labil karena masih dalam proses pembentukan serta merupakan daerah vulkans yang subur. Profil tanah yang bergunung-gunung menyebabkan daerah ini baik untuk objek turis. Apalagi di sini terdapat danau Singkarak dan danau Maninjau, air terjun anai dengan hutangan cadangan (cagar alam) Anai dan Rimbo Panti. Pegunungan yang menjorok ke laut seperti di Pandang dan Pesisir Selatan yang menyebabkan bentuk pantai menjadi berteluk-teluk yang indah seperti pantai Bungus dan Teluk Bayur. Seluruh daerah Sumatera Barat didiami oleh suku bangsa Minangkabau kecuali kepulauaan Mentawai yang didiami oleh orang Mentawai.
Di Pasaman dan Sawah Lunto Sijunjung terdapat transmigrasi dari Jawa. juga terdapat transmigrasi lokal dari Tapanuli di Pasaman Utara. Pada umumnya tidak terdapat mobilitas penduduk antar negeri.penduduk biasanya untuk suatu masa tertentu terjadi ke kota atau keluar daerah. Perpindahan kota biasanya untuk belajar, berdagang, atau pekerjaan-pekerjaan lain, tapi biasanya mereka akan kembali ke kampung sesudah maksudnya selesai. Perpindahan keluar daerah banyak terjadi, terutama ke Jawa baik untuk bersekolah maupun merantau.
Latar belakang sosial budaya
1.Sejarah
Menurut Tanbo Minangkabau, orang Minangkabau berasal dari turunan Iskandar Zulkarnain yang pernah berkuasa sampai ke India (abad ketiga sebelum Masehi)1. mereka datang dengan perahu dan kandas di gunung Merapi di suatu tempat yang disebut Pariangan. Dari sana mereka berkembang, menyebar ke daerah yang sekarang dikenal dengan Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh Kota. Daerah ini disebut pada waktu dahulu Luhak, yang sekarang menjadi kabupaten-kabupaten. Dari sana penduduk menyebar ke daerah lainnya, seperti Solok, Pasaman, Pesisir Selatan, Padang Pariaman dan Sawah Lunto Sijunjung.
Menurut penelitian, orang Minagkabau termasuk suku bangsa Melayu (Melayu Muda) yang datang ke sini dari Indo China yakni sekitar abad kelima dan pertama sebelum Masehi.
Masa pra dan proto sejaarah sumatera barat berlangsung lama sekali. Bukti-bukti prasejarah terlihat dari ditemukannya sisa kebudayaan megalith di beberapa daerah seperti Guguk, Suliki dan Puar Datar (Lima Puluh Kota) dan pecahan tembikar di Gua Kamang (Kabupaten Agam) yang berdekatan denagn Puar Datar. Disamping itu terdapat pula piagam lempeng emas di Candi Tanjung Medan dan sebuah Arca di Padang Nunang, Rao, keduanya di kabupaten Pasaman Utara.
Pada akhir abad ketiga belas. Daerah ini diberitakan lagi dengan adanya ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275 M. Pada abad keempat belas muncul pula prasasti Padari Aditiawarman disekitar Batusangkar. Dengan ini bolehlah dikatakan Sumatera Barat memulai zaman sejarahnya.
Pada awal abad kesembilan belas terjadi peristiwa besar akibat pembaharuan agama Islam yang dibawa oleh tiga orang haji dari Mekkah yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Timbullah pertentangan antara kaum adat dengan kaum pembaharuan dalam agama Islam. Belanda menggunakan kesempatan ini golongan lemah (kaum adat) dalam usaha kaum itu menentang pembaharuan yang disebut orang Paderi. Timbullah perang pada tahun 1821-1837, yang disebut perang Paderi, dipimpin oleh Imam Bonjol dan kawan-kawannya. Dengan dipatahkannya perlawanan kaum paderi oleh Belanda berhenti untuk sementara. Perlawanan-perlawan Regent Batipuh (1843) dan Perang Pauh.
Memasuki abad keduapuluh, seperti daerah lain di Indonesia, juga Sumatera Barat aktif dalam pergerakan nasional. Selain dari mempunyai cabang-cabang orgasasi pergerakan dari Jawa, Sumatera Barat juga mempunyai organisasi politik lokal yang amat ditakuti oleh Belanda yaitu Persatuan Muslim Indonesia yang disingkat dengan PERMI. Pergerakan nasional mencapai puncaknya dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang mana Sumatera Barat termasuk didalamnya.
3.Bentuk Desa
Desa yang disebut nagari dalam bahasa Minangkabau kadang-kadang terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah kediaman utama dan dianggap pusat bagi sebuah desa. Halnya berbeda dengan taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang. Kalau ada orang yang diam di taratak ini, maka orang itu dianggap sebagai orang yang bertugas untuk menjaga dan megerjakan tanah yang ada di situ dan biasanya tanah itu bukan kepunyaanya1.
Daerah nagari dalam sebuah desa biasanya ditentukan oleh adanya sebuah masjid, balai adat, dan tempat untuk pasar sekali atau dua kali seminggu. Masjid, balai adat tempat sidang-sidang adat diadakan, pasar dan kantor nagari sebagai gejala yang dibawa oleh pemerintahan Belanda biasanya terletak pada suatu tempat, yang merupakan pusat kehidupan sebuah desa, dan letaknya kira-kira di tengah-tengah sebuah desa, dan pada pertengahan sebuah jalan memanjang dengan rumah-rumah kediaman disebelah kanan dan kirinya.
Daerah nagari dalam suatu desa pertanian, meliputi juga daerah persawahan. Ladang-ladang biasanya tidak ada dalam daerah ini, tetapi dalam daerah taratak, walaupun di situ sering terdapat juga sawah-sawah. Keadaan semacam ini kiranya cocok dengan pengertian lain dari taratak sebagai daerah terpencil dari pusat nagari, yang berpencaran di sudut-sudut yang agak jauh dari nagari.
Sebagian terbesar dari penduduk sebuah desa bertempat tinggal dalam daerah nagari, dan hanya pada waktu-waktu tertentu mereka pergi ke taratak. Karena itu pola perkampungan mereka adalah pola kampung biasa. Taratak atau hamflet merupakan keadaan tambahan belaka.
Sesuai dengan pembagian antara daerah nagari atau taratak, maka kalau kita berbicara tentang bentuk-bentuk rumah minangkabau (yang tradisional), perhatian kita terpaksa dibatasi kepada rumah-rumah yang ada dalam daerah nagari. Rumah-rumah yang ada di daerah taratak tidak dapat dianggap sebagai rumah-rumah yang khas Minagkabau. Ada rumah-rumah yang di anggap sebagai rumah-rumah sementara saja, atau rumah-rumah itu dibangun oleh orang-orang yang tak begitu berkemampuan untuk membangun rumah-rumah serupa dengan apa yang ada dalam sebuah nagari.
4.Mata Pencaharian Hidup
Sebagian besar dari orang Minangkabau hidup dari tanah. Di daerah yang subur dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi banyak orang menanam sayur mayur untuk perdagangan, seperti kubis, tomat dan sebagainya. Pada daerah-daerah yang tidak begitu subur kebanyakan penduduknya hidup dari tanaman-tanaman pisang, ubi kayu, dan sebagainya.
Disamping hidup dari pertanian, penduduk yang diam di pinggir laut atau di pinggir danau-danau juga dapat hidup dari hasil panangkapan ikan, tetapi kebanyakan bagi mereka penangkapan ikan bagi mereka adalah mata pencaharian sampingan saja.
Ada berbagai hal yang menyebabkan banyak orang Minangkabau kemudian meninggalkan sektor pertanian1. Ada yang disebabkan karena tak ada tanah pertanian yang memberikan cukup hasil, ada yang disebabkan karena kesadaran bahwa dengan pertanian mereka tak mungkin bisa menjadi kaya. Orang-orang seperti ini biasanya lari ke sektor perdagangan, ada juga yang menjadi pegawai. Mereka yang menjadi pedagang biasanya memilih antara tiga lapangan ialah tekstile, kelontongan, atau rumah makan.
Selain itu ada juga yang hidup dari kerajinan tangan. Di antaranya yang telah melampaui batas kedaerahan ialah kerajinan perak bakar dari Koto Gadang, sebuah desa dekat Bukit-tinggi dan pembuatan kain songket dari silungkang, sebuah desa dekat Sawah Lunto. Industri kecil tidak begitu berkembang dan yang kelihatan industri kecil tekstil yang berpusat pada dua daerah yaitu Silungkang dan Kubang, sebuah desa dekat Payakumbuh.
5.Sistem Kekerabatan
Masyarakat Minagkabau terbagi atas suku-suku. Suku utama adala Bodi, Caniago, Koto, Paliang. Suku-suku ini terpecah-pecah lagi atas suku-suku lain, yang jumlahnya lebih kurang 96 suku. Suku dalam kekrabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus dipilih dari luar suku1.
Prinsip keturunan diatur menurut garis ibu. Setiap individu akan melihat dirinya sebagai keturunan dari ibunya dan nenek perempuannya ke atas. Garis keturunan ini mempunyai arti untuk penerusan harta warisan yang setiap orang aan menerima warisan dari ibunya. Walaupun pada hakekatnya anak laki-laki mendapat bahagianya, tetapi dia tidak dapat mewariskannya pada anaknya, sehingga kalau ia meninggal harta itu akan kembali kepada turunan menurut garis ibunya yakni kemenakannya.
Prinsip keturunan yang matrilinial ini juga menentukan bahwa pewarisan sako yakni gelar. Seorang laki-laki akan menerima gelar dari garis ibunya dan khusus untuk gelar Datuk (penghulu) tidak dapat diberikan pada anaknya. Hanya di Pariaman gelar Sidi, Bagindo dan Sutan yang menunjukan gelar kebangsawanan dan bukan gelar adt yang diturunkan menurut garis ayah sedangkan gelar adat tetap menurut garis ibu1
Di dalam pergaulan sehari-hari terdapat aturan sopan santun pergaulan. Di dalam anggota keluarga hanya terdapat aturan nan ketek disayang, nan gadang dihormati, samo gadang dibao baiyo, artnya yang kecil disayang, yang besar dihormati dan sesama besar dibawa musyawarah. Hubungan dengan menantu atau orang sumando adalah hubungan saling menyegani atau bakasagana. Antara menantu dan keluarga asal, isteri tidak layak kalau mengobrol tidak berketentuan, berkelakar dan sebagainya..
6.Sistem Sosial / Kemasyarakatan
Menurut ilmu masyarakat pelapisan masyarakat atau stratifikasi sosial dapat berlaku secara horizontal atau mendatar dan vertikal atau menegak. Di Minagkabau stratifikasi sosial ini urang tajam.
Berpedoman kepada pepatah nan baiak iolah budi nan indah iolah baso (yang baik adalah budi dan yang indah adalah basa/sopan santun), maka setiap orang dapat mencapai martabat tersebut. Demikian pula pepatah barajo ka mufakat menunjukkan bahwa raja itu adalah mufakat dari semua orang, karena itu mereka mempunyai kedudukan yang sederajat.
Walaupun tidak begitu tajam kelasnya, secara menegak, masyarakat dapat digolongkan atas golongan kemenakan dan golongan mamak, yakni semua mamak-mamak rumah yang bergelar datuk dan bertugas sebagai penghulu dalam negari. Sebagai penghulu mereka memegang kuasa mengaturanak kemenakannya dalam nagari. Di dalam nagari para penghulu bermusyawarah dengan penghulu dari suku lainnya yang akan menentukan peratutan dalam negari. Mereka menjadi anggota kerapatan adat negari. Salah seorang dari mereka dipilih menjadi kepala negari (sekarang sudah tidak berlaku lagi/tidak ada)1.
Kemenakan harus patuh kepada mamak-mamak mereka di dalam pengaturan negari. Mereka adalah yang diatur oleh mamak. Semua anggota keluarga yang tidak menjabat sebagi penghulu/mamak kepala waris dalam kaum dan mamak tungganai di rumah tangga adalah kemenakan. Tapi walaupun demikian dalam tiap-tiap ke keluarga aturan musyawarah pun tetap berlaku. Pepatah minangkabau menyebutkan kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka penghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana barajo ka nan patuik, artinya kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, mufakat beraja kepada yang benar, yang benar beraja kepada yang pantas.
Perbedaan anatara kemenakan dengan mamak tidak kentara. Setiap orang laki-laki sebenarnya berhak emnjadi mamak jka syaratnya terpenuhi. Oleh karena itu mamak rumah tidak selalu yang ertua umurnya, tetapi yang tertua dalam segalanya, terutama sekali tertua dalam kepemimpiannnya. Jadi tidak serta merta orang kerena kelahirannya menjadi mamak rumah atau penghul.
Di daerah rantau pelapisan menegak ini agak nyata. Di Solok misalnya kita mengenal raja-raja sungai pagu (daerah Muara Labuh), di Pasaman kita kenal raja-raja di Rao dan Sontang. Di Padang Pariaman kita kenal juga raja-raja tersebut. Malahan di Pariaman kebangsawanan orang juga dikenal dengan gelar-gelar mereka yaitu Bagindo, Sidi, Marah dan Sutan, dimana golongan dengan gelar yang satu lebih rendah dari yang lain atau sebaliknya.
Disamping apa yang disebutkan di atas kita dengar pula adanya istilah Tungku Tigo Sajarangan dalam masyarakat, emnunjukkan pelapisan horizontal. Yang dimakudkan ialah golongan ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama. Mereka sederajat tetapi emmpunyai posisi yang berada dalam masyarakat. Golongan ninik mamak adalah orang yang megatur urusan adat istiadat, golongan cerdik pandai tempat bertanya dalam masalah umum sedangkan golongan ulama megatur hal-hal yang menyangkut agama.
Adanya pelapisan berdasarkan kekayaan tidak kentara karena sebenarnya yang dianggap kekayaan itu dahulu adala tanah. Karena tanah adalah milik suku atau keluarga luas, amka sebenarnya orang tidak mempunyai kekayaan pribadi. Perluasaan tanah ladang atau sawah sebenarnya dilakukan atas tanah ulayat atau tanah suku dan karena itu tetap milik suku.
Merantau1
Merantau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang Minagkabau sejak lama. Semula merantau didorong oleh kebutuhan perluasan wilayah karena tempat asal di pedalaman Sumatera Barat (Luhak nan Tigo) tidak lagi memadau luasnya untuk menunjang kehidupan mereka. Mereka memerlukan tanah garapan baru untuk pertanian persawahan. Denagn semanagt inilah orang Minangkabau memperluas wilayah mereka dengan memasukkan pantai barat kedalam lingkunagn wilayah mereka (Pariaman-Padang-Bandar Sepuluh) pada abad-abad sebelumnya. Emningkatnya kebutuhan perdaganggan denagn dunia luar, terutama denagn Malaka dan Aceh dari abad ke-15 dan seterusnya, memaksa mereka mencari koloni baru sepanjang pantai timur dan barar. Juga karena hanbatan alam, yaitu sukarnya menerobos daerah pedalaman yang kaya akan rempah-rempah, hasil hutan dan emas yang sangat laku dipasar dunia pada masa itu, saudagar-saudagar asing harus menunggu di pelabuhan-pelabuhan perdagangan sampai barang-barang tiba. Dengan kedatangan Belanda, jalanjalan raya baru dan sarana komunikasi lainnya membawa orang Minangkabau lebih dekat denagn dunia luar dan dengan demikian mendorong orang Minangkabau untuk pergi merantau dalam jumlah yang meningkat dan makin tersebar. Denagn sarana yang lebih modern, bepergian dalam kelompok tidak lagi diperlukan dan sekarang mulailah tipe baru merantau. Merantau sekarang dilakukan secara sendiri-sendiri, denagn tujuan kota-kota. Daya tarik kota-kota semenjak peralihan abad yang lalu ke abad ini seolah-olah telah berjalan selaras denagan faktor-faktor pendorong (push factor) yang mendesak dari dalam.
7.Sistem Religi
Dari sisa-sisa kepercayaan yang tertinggal dapat diperkirakan bahwa pada masa dahulu sebelum masuknya agama islam orang Minangkabau mengenal kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Kepercayaan akan Dinamisme terlihat pada kepercayaan sebagian masyarakat terhadap tempat-tempat yang sakti. Apabila orang melanggar tempat yang sakti dia akan terkena malapetaka misalnya akan mati denagan tiba-tiba atau mendapatkan penyakit. Bergabung dengan Animisme yakni kepercayaan akan adanya roh-roh, maka seseorang percaya akan hantu, kuntilanak atau penyakit yang disebabkan seperti ditampar malapari, palasit atau sijundai dan si hantu.
Di antara benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan sakti seperti batang beringin, tempat-tempat yang sunyi, sumur-sumur alam yang disebut lubuk dan lain-lainnya. Oleh karena dianggap sakti maka orang berusaha menghindarinya agar tidak mendapat malapetaka.
Dengan datangnya agama islam maka kepercayaan masyarakat berubah menjadi monoteis yakni kepercayaan akan tuhan yang satu. Walaupun begitu percampuran antara agama monotheisme dengan kepercayaan hindu terlihat dalam upacara menujuh atau menyeratus hari sesudah kematian, datang ke kuburan untuk minta berkat dan lain-lain. Sekarang upacara-upacar keagamaan yang ada ialah yang ada hubungannya dengan agama islam sedangkan kepercayaan asli boleh dikatakaan tinggal bekasnya saja.
Sumber dan Referensi
Amir. B,dkk. 1985. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Sumatera Barat, Jakarta, Depdikbud,
A.M Datuk Maruhun Batuah, D.H. Bagindo Tanameh; Hukum Adat dan Adat Minangkabau. NV. Poesaka Aseli, Jakarta, 1954.
Koentjaraningrat. 1957.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Sapdodadi,
M. RasjiMinangkabaud Manggis Dt. Radjo panghoeloe. 1982. Sejarah Ringkas dan Adatnya.Jakarta : Mutiara
Mochtar Naim1984. Merantau : Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada Perss University,
M. Nasroen. 1971. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Djakarta: Bulan Bintang.
Nurlela Adnan, Ermiati, Rosnida M. Nur. 1994. Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Minangkabau, Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Langganan:
Postingan (Atom)